Box Layout

HTML Layout
Backgroud Images
Backgroud Pattern
  • LEMBAGA KAJIAN HUKUM DAN KORUPSI FAKULTAS HUKUM UM SUMATERA BARAT
blog-img-10

Dekonstruksi Keterwakilan Perempuan

Opini

Oleh: Yasrul Anuar

Mahasiswa Fakultas Hukum UM Sumatera Barat/ Pegiat Lingkar Feminis Sumatera Barat

 

Fakta menunjukan, perempuan masih ditempatkan pada “kasta kedua” dikancah politik. Rasio Keterwakilan perempuan di parlemen belum memenuhi standar yang ditetapkan regulasi yaitu kuota 30%. Pada pemilu legislatif  (DPR RI) 2014 misalnya, dari 2.467 kandidat perempuan, hanya 97 yang berhasil memangkan pemilu (<40%). Kalkulasi ini berdampak kepada perolehan kursi perempuan di parlemen yang hanya menyentuh angka 17,03%. Pada pemilu 2019, peta representasi perempuan di parlemen (DPR RI) memproyeksikan tren kenaikan. Ada 118 perempuan terpilih dari 575 anggota DPR RI (20,5%). Ini merupakan yang terbanyak di sepanjang sejarah Pemilu indonesia dalam konteks keterwakilan perempuan. Begitupun dengan peta keterwakilan di DPD, DPR-D Prov, dan  Kab/Kota. Angka menunjukan bahwa sebanyak 18,03% keterwakilan perempuan di DPR-D Prov. Sedangkan 15,25% di DPR-D Kab/Kota dan 30,88% di DPD. Fakta ini masih belum memenuhi harapan angka keterwakilan  perempuan sebesar 30% (Umagapi, 2020).

Rangkaian regregasi keterwakilan perempuan tersebut masih menunjukan  terjadinya marjinalisasi terhadap perempuan paska periode 1950-2004. Selama perempuan tidak representatif di parlemen, maka kebijakan yang mendukung kesejahteraan perempuan juga tidak akan terwujud. Padahal, parlemen jika diisi oleh perempuan secara representatif, maka proses legislasi, pengawasan, dan anggaran akan lebih memproyeksikan isu-isu yang menyelamatkan hak perempuan. Situasi ini terjadi karena dimensi keterwakilan berdampak sigifikan terhadap lahirnya sebuah kebijakan yang pro kesejahteraan perempuan sebagai bagian dari implementasi universalitas hak asasi manusia. Hanya saja, pada level makro, kebijakan afirmasi 30% yang disediakan kepada perempuan  memang diterima, namun  pada tataran mikro persepsi terkait afirmasi tersebut sangat ditentang secara konsepsional. Kondisi tersebut semakin meregregasi keterwakilan perempuan di parlemen. Apa dan mengapa ini bisa terjadi?.

Kelindan Faktor

Jamak diketahui bahwa ruang publik (politik) yang diatur oleh hukum bukanlah objek yang netral dan bebas nilai, namun sangat bias gender. Konstruksi ruang publik (politik) dibentuk berdasarkan regulasi yang notabenenya mayoritas menyerap pengalaman laki-laki, sehingga inheren merepresentasikan logika patriakis. Determinasi kuasa ideologis patriakisme yang bersifat strukturalis kerap menderogasi ranah hukum dan politik, sehingga modal politik perempuan selalu ditentukan oleh habitus politik laki-laki. Perempuan “didikte” oleh kepentingan laki-laki, maskulinitas berada dipuncak piramida kepentingan. Tidak hanya ranah hukum dan politik, wilayah pidana juga disusupi oleh kultur bias gender dan patriakisme ortodoks. Oleh sebab itu, perempuan tetap akan terpinggirkan ketika vis a vis dengan paradigma mayoritas laki-laki di parlemen. Selain itu, perempuan dianggap entitas yang pantas di wilayah domestik (pengentalan kultur patriakistik) karena politik merupakan ruang dialektik yang justru sangat kejam terhadap perempuan yang menyebabkan minimnya partisipasi perempuan di ruang politik.

Setidaknya, kelindan faktor itu jika dideteksi lebih rigid akan melahirkan beberapa alasan kausal. Pertama, kultur patriarki yang sangat mengakar di kawasan Asia telah membentuk persepsi bahwa perempuan tidak cocok menjadi leader politik di parlemen, sehingga ini yang mempengaruhi partai politik untuk cenderung memberikan ruang kepada laki-laki untuk direkrut karena basis masa dengan proyeksi maskulinitas lebih menjanjikan (dukungan) dari pada perempuan. Kedua, pragmatisme partai politik dan sifat partisannya menyebabkan rekruitmen kepada perempuan dilandasi modal politik yang besar (harus punya relasi kekerabatan dengan partai dan ongkos politik). Politik kekerabatan menjadi basis komoditas politik untuk peningkatan elektabilitas partai, sehingga perempuan yang berada dalam lingkaran kekerabatan yang justru mempunyai kans yang lebih besar dijadikan calon dengan mempertimbangkan aspek loyalitas dan bukan ideologi keterwakilan perempuan. Sehingga, keterwakilan 30% perempuan hanya dijadikan formalitas semata, bukan dalam artian perjuangan ideologi partai, kapasitas maupun kapabilitas dari perempuan yang mencalonkan diri. Situasi ini menyebabkan kaderisasi partai terhadap perempuan tidak berjalan.

 Ketiga, interpretasi agama masih melihat sistem zipper bertentangan dengan prinsip ketaqwaan karena hanya dilandasi dengan pertimbangan gender, sehingga persepsi seperti ini masih memengaruhi keterpilihan perempuan di parlemen. Bahkan, keterwakilan politik perempuan di parlemen dituduh sebagai argument yang liberal, sehingga mayoritas masyarakat masih menyandarkan pertimbangan dari hal ini. Idealnya pemimpin politik harus diletakan kepada laki-laki.

Dekonstruksi Kuota 30%

Mengapa angka 30% yang ditetapkan sebagai acuan dalam melihat keterwakilan perempuan di parlemen?. Situasi ini secara pararel mempertanyakan apa sebetulnya yang menjadi ratio legis kalkulasi 30% dijadikan basis dalam melihat proporsi keterwakilan hak perempuan sebagai bagian dari visi regulasi pemilu, partai politik, dan parlemen?.

Sebetulnya, kebijakan (regulasi) tentang 30% keterwakilan perempuan di politik (parlemen) memiliki sejarah yang cukup panjang dalam ke tata negaraan Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Risalah Rapat Panitia Khusus Ruu Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah & Ruu Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun Sidang 2006-2007 Khususnya Pandangan Tentang Urgensi Pengaturan Keterwakilan Perempuan Dalam UU Pemilu Dan Strategi Pencapaian Sistem Pemilu Yang Sensitif Gender.

Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dilakukan dekonstruksi untuk mencari makna yang dikandung oleh teks Undang-Undang. Dalam kacamata Chris Barker dekonstruksi diartikan sebagai memisahkan, membongkar, untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong dari teks. Yasraf Amir Piliang mengatakan dekonstruksi adalah penyangkalan akan oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tidak ada, murni atau tercemar dan penolakan akan kebenaran logos itu sendiri. artinya, di dalam dekonstruksi, yang dilacak bukan penataan yang secara sadar, prosedur yang logis. Melainkan tatanan yang tidak disadari, yang merupakan asumsi-asumsi tersembunyi yang terdapat di balik teks. Dengan kata lain dekonstruksi ingin menelanjangi tekstualitas laten dalam sebuah teks.

Pada teks (dialog) risalah diatas, terlihat bahwa diskusi dua arah mengangkat pusat teks dan konteks yang serupa, yakni keterwakilan Perempuan di Parlemen afirmatif action 30%. Kebijakan tersebut sudah ada ketika deklarasi PBB di Beijing sebagai legitimasi awal dan dituangkan dalam Tap MPR RI No.VII 2002 yang merekomendasikan pada Presiden untuk kuota 30% bagi perempuan di lembaga pengambilan keputusan. Selanjutnya diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Payung oposisi biner yang jelas tampak adalah antara perempuan dan laki-laki dalam perebutan “konteks” kekuasaan. Kemudian, kita juga bisa melihat bahwa ada dua situasi yang bertolak belakang, keseriusan sekaligus ketidakseriusan. Yaitu, keseriusan dalam dari Koalisi Perempuan untuk mendukung 30%. Disisi lain, hampir semuanya anggota DPR pansus menunjukan gejala ketidakseriusan dalam kebijakan afirmatif action 30% dengan segala macam dalilnya.

Berdasarkan sudut pandang DPR, (1) Kesulitan mencari kader perempuan dalam pemenuhan kebijakan 30% afirmatif action dalam konteks kebudayaan yang patriatki berkembang di Indonesia yang mana kodrat perempuan yang pasif sulit untuk mensejajarkan dirinya dalam kancah dunia politik dengan laki-laki. (2) Sebagian DPR yang memandang (menilai) eksistensi keterwakilan perempuan 30% di parlemen belum terlalu signifikan. Namun, ada hal yang berkebalikkan terjadi dari pandangan Koalisi Perempuan menilai (1) bahwa kebijakan afirmatif action pada angka 30% tersebut merupakan jaminan hukum bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam konstelasi pemilu (lihat deklarasi PBB di Beijing, TAP MPR RI No.VII 2002 dan UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum). (2) Dasar pemikirannya tiada demokrasi tanpa perempuan karena perempuan itu setengah penduduk, karena perempuan itu 53% dari pemilih dan juga warga Negara yang sudah dijamin mempunyai hak yang sama. Rasio angka 30% bentuk nyata pembatasan “kekuasaan” yang digunakan laki-laki untuk mengambil monopoli kebijaakan negara dan sekaligus marjinalkan keterwakilan kaum perempuan di parlemen.

Masuknya rasio angka 30% diawali dari deklarasi PBB di Beijing sebagai kebijakan afirmatif action keterwakilan perempuan dalam konteslasi pemilihan umum Indonesia. Dasar pemikiran filosofisnya, perempuan menempati 53% warga negara Indonesia yang sudah dijamin mempunyai hak yang sama. Hanya saja instrument hukum yang mendukung kebijakan tersebut belum ada sanksi yang jelas. Penulis melihat, bahwa makna atas representasi kebijakan afirmatif action rasio angka 30% hari ini belum “tidak” obyektif hanya sekedar formalitas yang mematikan kreatifitas itu sendiri.

Hal tersebut, kemudian membatasi lingkup peran perempuan itu sendiri di parlemen maupun di lembaga partai politik. Ketiadaan sanksi bagi parpol yang melanggar afirmatif action adalah bentuk nyata dari upaya membatasi peran perempuan dalam politik. Hal ini kemudian secara tidak langsung, memberikan sumbangsih untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan yang berlaku secara politis tentang posisi hak “relasi” politik dibelakang laki-laki dan perempuan untuk “dalam” menentukan kebijakan. Berbeda dengan negara-negara Perancis, Argentina, Belgia dan negar-negara Skandinavia yang mengevaluasi “merevisi” anjuran rekomendasi PBB atas deklarasi Beijing.***

 

Sumber gambar: https://suluhperempuan.org/2021/07/27/gerakan-perempuan-dan-partai-politik-alternatif.html